Selasa, 08 Mei 2012


RANCANGAN INSRTUMEN PENELITIAN
PERILAKU PEMALU SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

Fazrah Suleman
NIM: 111 410 025

  1. INSTRUMEN PENGUMPUL DATA
  1. Jenis Instrumen
Jenis instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah instrumen kecerdasan sosial dengan menggunakan skala pengukuran “skala Guttman”. Melalui skala Guttman akan diperoleh jawaban yang tegas, yaitu “ya-tidak”. Data yang diperoleh berupa data dikotomi.
Pernyataan dalam instrumen berupa pernyataan positif dan penyataan negatif. Untuk setiap pernyataan positif diberi skor 1 untuk yang menjawab “ya” dan 0 untuk yang menjawab “tidak”. Sedangkan setiap penyataan negatif diberi skor 0 untuk yang menjawab “ya” dan skor 1 untuk yang menjawab “tidak”.
Pernyataan
Jawaban
Skor
Positif (+)
ya”
1
tidak”
0
Negatif (-)
ya”
0
tidak”
1

  1. Pengembangan Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen kecerdasan sosial dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian yang di dalamnya terkandung aspek-aspek indikator untuk kemudian dijabarkan dalam bentuk pernyataan.

  1. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL (DOV)
Bahwa pemalu (shyness) adalah suatu sifat bawaan atau karakter yang dibawa sejak lahir yang juga merupakan hasil belajar atau respond terhadap suatu kondisi tertentu.
Ada yang mengartikannya sebagai sesuatu yang "aneh", "hati-hati", "curiga" dan sebagainya. Definitifnya, pemalu sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang dimana orang tersebut sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian sosial tersebut, sehingga cenderung untuk menarik diri.
Kecenderungan menarik diri ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan sejak bayi. Kita dapat melihat ada bayi-bayi yang menangis jika didekati orang atau tidak mau untuk dipegang. Sebaliknya ada juga bayi-bayi yang tidak pemalu, mereka membiarkan diri mereka berada dekat orang lain, dan tidak menolak digendong oleh orang yang tidak dikenal.
Sifat pemalu dapat menjadi masalah yang cukup serius sebab akan menghambat kehidupan anak, misalnya dalam pergaulan, pertumbuhan harga diri, belajar, dan penyesuaian diri. Umumnya ciri anak pemalu ialah terlalu sensitif, ragu-ragu, terisolir, murung, dan juga sulit bergaul. Jadi mereka perlu diberi bantuan.
Aspek kecerdasan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini diambil, adalah:
Perilaku pemalu. Rasa malu adalah emosi yang dipahami umum tetapi sedikit. Semua orang merasa ambivalen atau sadar diri dalam situasi sosial baru.. Namun, pada rasa malu dapat mengganggu perkembangan sosial optimal dan membatasi belajar anak-anak.













KISI-KISI INSTRUMEN PERILAKU PEMALU SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS
Aspek emosi negatif
Indikator
pernyataan
jumlah
(+)
(-)

Perilaku pemalu
1. siswa mampu beradaptasi dengan lingkungan baru
2
1
3
2. siswa mampu berbicara di depan banyak orang
1
2
3
3. siswa mampu berpikir positif terhadap dirinya
2
1
3
4. Siswa mampu menampilkan diri dengan efektif ketika berinteraksi dengan orang lain
2
1
3



Aspek Kecerdasan Emosi
Indikator
Pernyataan
Keterangan
Saran/komentar
Memadai
Tidak memadai

Perilaku Pemalu
1. siswa mampu beradaptasi dengan lingkungan
1. saya mampu untuk menyesuaikan diri dengan teman (+)
2. saya merasa sulit untuk bergaul dengan teman-teman (-)
3. saya mampu untuk bersosialisasi dengan orang lain (+)




2. siswa mampu berbicara di depan banyak orang
4. saya merasa malu ketika berbicara di depan umum (-)
5. saya senang dengan adanya diskusi (+)
6. saya merasa pesimis dengan keadaan saya (-)



3. siswa mampu berpikir positif terhadap dirinya
7. saya yakin saya mempunyai potensi untuk meraih impian saya (+)
8. saya bingung memahami diri saya sendiri (-)
9. saya mampu berfikir rasional (+)



4. Siswa mampu menampilkan diri dengan efektif ketika berinteraksi dengan orang lain
10. Saya menggunakan bahasa yang baik dan benar saat berbicara dengan orang lain (+)
11. Saya merasa gugup saat mengungkapkan pendapat (-)
12. Saya lancar dalam mengungkapkan pendapat pada orang lain (+)





Nama : Fazrah Suleman
NIM : 111410025
Kelas : Reg.IV-A
Mata Kuliah : Analisis Pengubah Tingkah Laku


ANALISIS PENGUBAH TINGKAH LAKU

Nama
Tingkah Laku Defisit
Tingkah Laku Berlebihan
Tingkah Laku Tidak Wajar
A
  • Kurang mampu memahami orang lain
  • Kurang mampu bersikap bijak
  • Egois
  • Tantrum
  • Marah yang berlebihan
  • Agresif



Nama
Tingkah Laku Defisit
Tingkah Laku Berlebihan
Tingkah Laku Tidak Wajar
Saya
  • Kurang mampu memahami orang lain
  • Kurang betah di rumah
  • Kurang dapat mengatur waktu
  • Egois
  • Mudah putus asa
  • Merasa pesimis dengan masa depan
  • Agresif




Nama: Fazrah Suleman
Jurusan Bimbingan dan Konseling

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya merupakan salah satu unsur dasar dalam kehidupan social. Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideology yang mereka anut.
Tentu saja pada kenyataannya budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, terlepas dari perbedaan karakter masing-masing kelompok masyarakat ataupun kebiasaan mereka. Realitas yang multi budaya ini dapat kita jumpai di negara-negara dengan komposisi penduduk yang terdiri dari berbagai etnis, seperti Indonesia, Uni Soviet (sekarang, Rusia), Yugoslavia (sekarang terpecah menjadi beberapa Negara) dan lain-lainnya. Kondisi Negara dengan komposisi multi budaya rentan terhadap konflik dan kesenjangan social. Memang banyak factor yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik tersebut, akan tetapi sebagai salah satu unsur dasar dalam kehidupan social, budaya mempunyai peranan besar dalam memicu konflik.


Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.

Pada ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku individu.

Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.
1.2 Rumusan Masalah
“Apa hubungan antara Budaya dan Perilaku ?”
1.3Tujuan Penulisan
Untuk Mengetahui bahwa Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai :
1. Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompoknya
2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan lain.
3. Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
4. Pembeda manusia dan binatang
5. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku didalam pergaulan.
6. Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain.
7. Sebagai modal dasar pembangunan.







BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Budaya

kata budaya sangat umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Paling sering budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa atau etnis. Perilaku orang yang kebetulan keturunan Jawa selalu dikatakan sebagai pengaruh budaya Jawa. Begitu juga dengan perilaku orang Cina selalau dikatakan dengan budaya Cina. Kata budaya juga akadang dikaitkan dengan seni, musik, tradisi-ritual, ataupun peninggalan-peninggalan masa lalu. Budaya adalah seni dan semua hasil prestasi intelektual manusia yang dilakukan secara kolektif, Oxford Dictionary (Dayakisni, 2008).
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari (Dayaksini dan Yuniardi 2008)
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

2.1.1Kebudayaan
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (Dayaksini, 2008) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius , dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

2.1.2 Unsur-unsur Kebudayaan
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok :
a. Alat-alat teknologi
b. Sistem ekonomi
c. Keluarga
d. Kekuasaan politik

2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi :
a. Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
b. Organisasi ekonomi
c. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan  utama)
d. Organisasi kekuatan (politik)

Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
a. Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

b. Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

2.2 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Ihromi (1996), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus–Organisme–Respon.

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Ihromi, 1996):

1. Perilaku tertutup (convert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

Menurut Lowrence Green, perilaku ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor :
1. Faktor predisposisi ( predis posing factors )yang terwujud dalam pengetahuan, sikap kepercayaan, keyakinan, nilai – nilai dan sebagainya.
2. Faktor pendukung ( enabling factors ) yang terwujud dalam linkungan fisik, tersedia atau tidak tersedia sarana.
3. Faktor pendorong ( reinforcement factors ) yang terwujud dalam sikap dan perilaku, kebijakan dan lain–lain.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil dari seseorang setelah orang tersebut melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu dan pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang.
2.3 Hubungan Antara Kebudayaan dan Perilaku
Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick Hartoko dalam Ihromi (1996) bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan.
Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan. Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian prosentasenya sangat kecil. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.

Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai :
1) penganut kebudayaan,
2) pembawa kebudayaan,
3) manipulator kebudayaan
4) pencipta kebudayaan.

Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka survive maka manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara.
Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Manusia Sebagai Pencipta Dan Pengguna Kebudayaan

Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini. Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya.

Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai:

1. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya
2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan lain.
3. Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
4. Pembeda manusia dan binatang
a. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku didalam pergaulan.
b. Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain.
5. Sebagai modal dasar pembangunan.
Proses Dan Perkembangan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia itu sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia.

Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok sosial tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok atau melaui proses difusi. Suatu kelompok sosial akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu bilamana kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntunan yang dihadapinya.

Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalamhal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehiduapan setiap manusia.

Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala bidang, termasuk dalam kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu kelompok sosial akan bergeser. Suatu kelompok dalam kelompok sosialbisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadang kala disalah artikan menjadi suatu penyimpangan kebudayaan.

Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap prilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sengat bertolak belakang dengan budaya yang dianut didalam kelompok sosial yang ada di masyarakat. Sekali lagi yang diperlukan adalah kontrol / kendali sosial yang ada di masyarakat sehingga dapat memilah-milah mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Perubahan Kebudayaan
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan mengalami perkembangan (dinamis) sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh sebab itu tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Adalima penyebab terjadi perubahan kebudayaan yaitu:
1. Perubahan lingkungan alam
2. Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan kelompok lain
3. Perubahan karena adanya penemuan (discovery)
4. Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain ditempat lain.
5. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsisuatu pengetahuan atau kepercayaan baru atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan

Dari Uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan akan terus berhadapan dengan problematika kebudayaan. Salah satu yang harus diperhatikan yaitu bagaimana kita menyikapi perubahan dan perkembangan kebudayaan. Kebudayaan akan terus mengalami perubahan selama manusia hidup dimuka bumi ini karena kebudayaan bersifat dinamis. Dan yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kita menyikapi dan memilah milah kebudayaan asing yang masuk dan mengintervensi kebudayaan asli yang kita kita miliki.


3.2 Saran
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan mengalami perkembangan (dinamis) sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh sebab itu tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Oleh karena itu sebagai manusia dan masyarakat sudah kewajiban kita melestarikan dan menjaga kelestarian budaya tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Dayakisni dan yuniardi. 2008.
Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.

Ihromi, T.O., 1996.
Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


ANALISIS PEMBELAJARAN DAN IDENTIFIKASI PERILAKU
DAN KARAKTERISTIK SISWA

A.    ANALISIS PEMBELAJARAN
Analisis pembelajaran adalah langkah awal yang perlu dilakukan sebelum melakukan pembelajaran. Langkah-langkah sistematis pembelajaran secara keseluruhan terdiri dari: 1) Analisis kebutuhan pembelajaran, 2) menentukan tujuan pembelajaran, 3) memilih dan mengembangan bahan ajar, 4) memilih media dan sumber belajar yang relevan, 5) memilih dan merencanakan strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang efektif, 5) memilih dan merencanakan sistem evaluasi dan tindak-lanjut. Tahapan ini dilakukan terutama untuk menentukan tujuan pembelajaran.
Analisis pembelajaran dilakukan dengan menganalisis tuntutan dan kebutuhan belajar siswa yang sangat beragam. Keberagaman itu perlu diakomodasi dalam pembelajaran, sebab tindakan penyeragaman terhadap siswa yang realitasnya beragam, bukanlah tindakan yang bijak dan proporsional.
B.     IDENTIFIKASI PERILAKU DAN KARAKTERISTIK SISWA
1.      Pengertian dan tujuan
Identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa adalah salah satu upaya para guru yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang; tuntutan, bakat, minat, kebutuhan dan kepentingan peserta didik, berkaitan dengan suatu program pembelajaran tertentu. Tahapan ini dipandang begitu perlu mengingat banyak  pertimbangan seperti; peserta didik, perkembangan sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kepentingan program pendidikan/ pembelajaran tertentu yang akan diikuti peserta didik.
Identifkasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik bertujuan:
a)      Memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan serta karakteristik awal siswa sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu.
b)      Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampua, serta kecenderungan peserta didik berkaitan dengan pemilihan program-program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka.
c)      Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.
2.      Landasan Dasar
Identifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik perlu dilakukan berdasarkan landasan teoretik dan landasan yuridis sebagai berkut. pertama Peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bahwa pengembangan pembelajaran dilakukan dengan memperhatikan; tuntutan, bakat, minat, kebutuhan, dan  kepentingan peserta didik[1]. kedua secara teoretik peserta didik berbeda dalam banyak hal yakni; perbedaan fitrah individual[2], disamping perbedaan latar belakang keluarga, social, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Teori Kecerdasan ganda (Multiple Intelligences), dari Gardnerd, yang menyatakan bahwa sejak lahir manusia memiliki jendela kecerdasan yang banyak. Ada delapan jendela kecerdasan menurut Gardnerd pada setiap individu yang lahir, dan kesemuanya itu berpotensi untuk dikembangkan. Namun dalam perkembangan dan pertumbuhannya individu hanya mampu paling banyak empat macam saja dari ke delapan jenis kecerdasan yang dimilikinya. Dengan teori ini maka terjadi pergeseran paradigm psikologis hierarkhis menjadi pandangan psikologis diametral. Tidak ada individu yang cerdas, bodoh, sedeng, genious, dan sebagainya, yang ada kavling kecerdasan yang berbeda.
MUSICAL, THEMATIC, LINGUISTIK, KINESTETIC, INTEPERSONAL, INTRAPESONAL, NATURAL, VISUAL.

KECERDASAN GANDA
3.      Penerapan Identifikasi Perilaku dan Karakteristik Awal Siswa
Identifikasi perilaku peserta didik dilakukan dengan memberikan pree-testing yakni tes awal yang dilakukan sebelum dimulai pembelajaran, yang dimaksudkan untuk menguji entry-behavior (kemampuan awal) peserta didik berkenaan dengan tujuan pembelajaran tertentu yang harus dikuasai peserta didik. Identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa juga dilakukan berkenaan dengan program pembelajaran sebuah mata pelajaran atau sebuah lembaga pendidikan tertentu.






DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah Nomor 19, tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.

Salim Bhreisy; Riyadus Sholihin, Penerbit PT. Al Ma’arif, Bandung, 1978

Peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan

Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasdional

William Gardnerd; Multiple Intelligence











































DAFTAR PUSTAKA


Syehnurjati. (2011). Analisis Pembelajarn dan Identifikasi Perilaku dan Karakteristik Siswa. [OnLine] tersedia di http://syahidahidah81.blogspot.com (1 Maret 2012)
TEKNIK ANGKET SEBAGAI PROSEDUR PELAKSANAAN ASESMEN
DALAM MENGIDENTIFIKASI KECERDASAN
SOSIAL SISWA DI SEKOLAH


Oleh :
Fazrah Suleman


Abstrak

Penelitian dilatarbelakangi oleh minimnya program layanan bimbingan di sekolah, terutama dalam tingkat prosedur pelaksanaan analisis kebutuhan atau need asessment siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keefektifan penggunaan teknik angket sebagai prosedur pelaksaan asesmen dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode quasi experiment dengan disain non-equivalent pretest-posttest control group design. Penelitian dilaksanakan melalui empat tahapan sebagai berikut : studi pendahuluan, uji rasional layanan, pelaksanaan layanan, dan pengungkapan akhir untuk melihat keefektifan pemberian layanan. Hasil penelitian menunjukan 1) tenik angket secara umum merupakan salah satu bagian dari asesment teknik non tes, 2) rumusan prosedur pelaksanaan asesmen dalam pelayanan BK di sekolah dapat digunakan melalui teknik angket, 3) teknik angket efektif untuk pengumpulan data siswa secara akurat dan efisien. Sehingga teknik angket direkomendasikan untuk dipertimbangkan sebagai prosedur pelaksanaan asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah untuk efektifitas pengumpulan data atau need asessment siswa di sekolah.

Kata kunci: Teknik Angket, Need Asessmen, Bimbingan dan Konseling.

  1. PENDAHULUAN
Situasi global membuat kehidupan semakin kompetitif dan membuka peluang bagi manusia untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2010: 1) menjelaskan dampak positif dari kondisi global telah mendorong manusia untuk terus berfikir dan meningkatkan kemampuan. Adapun dampak negatif dari globalisasi adalah: (1) keresahan hidup dikalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stres, kecemasan dan frustasi, (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi dan korupsi makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat dan benar-salah secara lugas, (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik tidak saja konflik psikis tapi juga konflik fisik, dan (4) pelarian dari masalah melalui jalan pintas, yang bersifat sementara dan adiktif seperti penggunaan obat-obat terlarang.
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dipersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu. Manusia Indonesia yang bermutu yaitu manusia yang sehat jasmani dan rohani, bermoral dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara profesional, serta dinamis dan kreatif. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional (Yusuf & Nurihsan, 2010: 2).
Hal yang mendukung bagi terciptanya manusia Indonesia yang yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu pula. Pendidikan yang bermutu tidak cukup melalui inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga harus didukung oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta didukung oleh profesionalisme dan sistem manajemen tenaga pendidik.
Secara mendasar profesinalisme tenaga pendidik telah diakomodasi dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.27 Tahun 2008 Tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor :
Guru Bimbingan dan Konseling atau konselor sebagai pendidik profesional dituntut memiliki kompetensi pedagogis, profesional, kepribadian dan sosial.”
Ketentuan yang termaktub dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional menunjukan bahwa, guru pembimbing harus memiliki kompetensi profesionalisme dalam kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, sehingga guru pembimbing atau konselor mampu untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi perkembangan dunia dengan berbagai macam dampak yang bisa menghambat perkembangan peserta didik.
Profesional atau kata dasarnya adalah profesi identik juga dengan kata keahlian, demikian juga Jarvis tahun 1983 (Martinis Yamin, 2009:3) mengartikan seorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang yang ahli (expert). Pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas.
Secara mendasar, profesionalisme guru pembimbing atau konselor bukan suatu yang lahir tanpa syarat, artinya sesuatu yang hadir begitu saja tanpa proses belajar yang panjang. Proses yang akhirnya menjadikan guru pembimbing atau konselor sebagai agen pembelajaran memiliki posisi strategis untuk melakukan berbagai perubahan, peningkatan dan pengembangan dalam penyelengaraan proses pendidikan di sekolah secara terus-menerus dan berkesinambungan dan sekaligus dapat mendorong peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta didiknya untuk mencapai perkembangan optimal di dalam mempersiapkan peserta didik untuk meraih keberhasilan masa depan.
Untuk itu guru pembimbing atau konselor dituntut memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi konselor agar mampu memberikan pelayanan bimbingan dan konseling yang mandiri.
Salah satu kompetensi profesional yang harus dikuasai adalah memiliki penguasaan konsep dan praktis asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
Gantina Komalasari, dkk (2011: 17) mendefinisikan asesmen sebagai proses pengumpulan, menganalisis, dan menginterpretasikan data atau informasi tentang peserta didik dan lingkungannya. Hal tersebut dilakukan untuk mendapat gambaran berbagai kondisi individu dan lingkungannya sebagai dasar pengembangan program layanan bimbingan dan konselingyang sesuai kebutuhan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asesmen merupakan suatu metode pengumpulan data berupa informasi untuk memperoleh gambaran berbagai kondisi perserta didik dalam pelayanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kebutuhan.
Asesmen dalam konsep bimbingan dan konseling memiliki posisi yang urgen, karena asesmen merupakan dasar dari rancangan program bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kebutuhan. Gantina Komalasari, dkk (2011: 19) juga menambahkan bahwa penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah dimulai dari kegiatan asesmen, atau kegiatan mengidentifikasi aspek-asek yang dijadikan bahan masukan bagi penyusunan program.
Asesmen dalam bingan dan konseling dapat berupa teknik tes dan non tes. Gantina Komalasari, dkk (2011: 22) menjelaskan bahwa asesmen teknik nontes paling banyak dilakukan oleh konselor. Prosedur perancangan, pengadministrasian, pengolahan, analisis, dan penafsirannya relatif lebih sederhana sehingga mudah untuk dipelajari dan dipahami. Berbagai bentuk asesmen teknik non tes yang selama ini sering digunakan antara lain pedoman wawancara, pedoman observasi, angket, daftar cek masalah (DCM), sosiometri, alat ungkap masalah Umum (AUM-U), alat ungkap masalah belajar (AUM-PTSDL), infentori tugas perkembangan, dll.
Asesmen teknik non tes yang akan menjadi bahan acuan penelitian di sini adalah teknik angket.
Komalasari (2011: 81) mendefinisikan angket sebagai suatu alat pengumpul data dalam asesmen non tes, berupa serangakaian pertanyaanyang diajukan kepada responden (peserta didik, orang tua atau masyarakat). Winkel tahun 1987 (Komalasari, 2011: 81) juga mendefinikasikan angket sebagai suatu daftar atau kumpulan pertanyaan tertulis yang harus dijawab secara tertulis juga.
Dari definisi angket di atas maka dapat disimpulkan bahwa angket merupakan seerangkat alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi dalam bentuk pertanyaan tertulis yang diajukan kepada responden. Maka dengan menggunakan salah satu teknik nontes yaitu angket maka dapat dijadikan sarana pengumpulan data atau informasi yang dibutuhkan dalam pelayanan bimbingan dan konseling yang sesuai kebutuhan.
  1. METODE PENELITIAN
  1. Prosedur Pengumpulan Data: Telaah Pustaka
Telaah Pustaka
Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan metode studi pustaka berupa buku-buku, jurnal, artikel, dan browsing data dari internet yang telah teruji kevalidannya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan serta mendukung uraian atau analisis pembahasan.
  1. Pengolahan Data
Dalam penulisan jurnal ilmiah ini, analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, yakni pendekatan penelitian yang dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian atau hipotesis secara spesifik dengan penggunaan analisis statistik. Yang berarti bahwa data yang diperoleh akan dijalaskan sedetail mungkin untuk mendapatkan kesimpulan akhir dari uraian atau analisis pembahasan. Melalui pendekatan ini diharapkan diperoleh data mengenai gambaran secara empirik proses pengolahan data melalui teknik angket dalam pelayanan bimbingan dan konseling.

  1. HASIL PENELITIAN
  1. Konsep Dasar
  1. Definisi Angket
Sutoyo Anwar (2009: 168) mendefinisikan bahwa angket atau kuesioner merupakan sejumah pertanyaan atau pernyataan tertulis tentang data faktual atau opini yang berkaitan dengan diri responden, yang dianggap fakta atau kebenaran yang diketahui dan perlu dijawab oleh responden. Sedangkan Gantina Komalasari, dkk (2011: 81) mendefinisikan angket sebagai suatu alat pengumpul data dalam asesmen non tes, berupa serangakaian pertanyaanyang diajukan kepada responden (peserta didik, orang tua atau masyarakat).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa angket merupakan angket serangkat alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi dalam bentuk pertanyaan tertulis yang diajukan kepada responden dalam hal ini adalah peserta didik, orang tua atau masyarakat.
Angket dikenal juga dengan sebutan kuesioner. Alat asesmen ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian (Komalasari, 2011: 81), yaitu: (1) judul angket, (2) pengantar yang berisi tujuan atau petunjuk pengisian angket, dan (3) item-item pertanyaan, bisa juga opini atau pendapat, dan fakta.

  1. Fungsi Angket
Angket disusun dengan tujuan untuk menghimpun sejumlah informasi yang relevan dengan keperluan bimbingan dan konseling, seperti identitas pribadi peserta didik, keterangan tentang keluarga, riwayat kesehatan, riwayat pemdidikan, kebiasaan belajar di rumah, hobi atau informasi lainnya. Data yang diperolah berfungsi untuk: (1) mengumpulkan informasi sebagai bahan dasar dalam rangka penyususnan program, (2) untuk menjamin validitas informasi yang diperoleh dengan metode lain, (3) evaluasi prorgam BK, dan (4) untuk mengambil sampling sikap/pendapat dari responden (Gantina Komalasari, 2011: 81)

  1. Jenis-Jenis Angket
Menurut Gantina Komalasari (2011: 82), angket dapat dibedakan berdasarkan tiga jenis, yaitu: (1) bedasarkan bentuk pertanyaan atau pernyataan, (2) berdasarkan respondennya (sumber data), dan (3) berdasarkan strukturnya.
Berdasarkan bentuk pertanyaan atau pernyataan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) angket terbuka, (open questionaire) merupakan bentuk angket yang pertanyaan atau pernyataannya memberi kebebasan kepada responden untuk memberikan jawaban atau pendapatnya sesuai dengan keinginan mereka, (2) angket tertutup (close questionaire) adalah angket yang pertanyaannya atau pernyataannya tidak memberi kebebasan kepada responden untik menjawab sesuai pendapat dan keinginan mereka, dan (3) angket semi terbuka (semi open qeustinaire) yaitu bentuk angket yang pertanyaannya atau pernyataannya berbentuk tertutup, tetapi diikuti pertanyaan terbuka.
Dilihat dari sumber datanya, angket dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) angket langsung, adalah bil angket itu langsung diberikan kepada responden yang ingin diselidiki, jawaban diperoleh dari sumber pertama tanpa menggunakan perantara, dan (2) angket tidak langsung, yaitu bila angket disampaikan kepada orang lain yang dimintai pendapat tentang kondisi orang lain, jawaban tersebut diperoleh dengan melalui perantara sehingga jawabannya tidak dari sumber pertama.
Dilihat dari strukturnya, angket dibedakan menjadi 2 pula yaitu: (1) angket berstruktur, yaitu angket yang bersifat tegas, konkret dengan pertanyaan atau pernyataan yang terbatas dan menghendaki jawaban yang tegas dan terbatas pula, dan (2) angket tidak berstruktur, dipergunakan apabila konselor menginginkan uraian lengkap dari subyek tentang sesuatu hal, di mana diminta uraian yang terbuka dan panjang lebar, disampaikan dengn mengajukan pertanyaan bebas.

  1. Kelebihan dan Kekurangan Angket
Seperti instrumen non tes yang lainnya, angket pula memiliki kelebihan dan kekurngannya. Oleh karena itu, penggunaannya harus iintegrasikan dengan alat asesmen lainnya, sehingga konselor dapat menemukan info yang relevan terhadap kondisi subjek yang akan diamati.
Gantina Komalasari (2011: 86-87) menjelaskan bahwa terdapat kelihan dan kelemahan dari angket. Berikut kelebihan dari angket, antara lain: (1) angket merupakan metode praktis karena dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data kepada sejumlah responden dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat, (2) merupakan metode yang ekonomis dari segi tenaga yang dibutuhkan antara lain tidak membutuhkan kehadiran konselor, (3) setiap responden menerima sejumlah pertanyaan yang sama, (4) pada angket tertutup memudahkan tabulasi hasil bagi konselor, (5) pada angket terbuka responden mempunyai kebebasan untuk memberikan keterangan, (6) responden mempunyai waktu cukup untuk menjawab pertanyaan, (7) pengaruh subjektif dapat dihindarkan, (8) pengisian angket dapat dibuatkan anonim sehingga responden bebas, jujur dan tidak malu-malu menjawab.
Sedangkan kekurangan dari angket antara lain: (1) responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati tidak dijawab, padahal sukar diulangi untuk diberikan kembali kepada responden, (2) sulit untuk mendapat jaminan bahwa responden akan memberikan jawaban yang tepat, (3) penggunaannya terbatas hanya pada responden yang bisa membaca dan menulis, (4) pertanyaan atau pernyataan dalam angket dapat saja ditafsirkan salah oleh responden, dan (5) sulit mendapatkan jaminan bahwa semua responden akan mengembalikan semua angket yang diberikan.

  1. Strategi Pengolahan Data Angket
  1. Langkah Penyusunan Angket
Berikut beberapa langkah penyusunan angket menurut Komalasari (2011: 85-86), yaitu:
  1. Menentukan tujuan yang akan dicapai dari penggunaan angket. Misal, angket disusun dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan belajar peserta didik di rumah, ingin mengetahui keterkaitan peserta didik terhadap tugas, ingin mengetahui kondisi keluarga, dan sebagainya.
  2. Mengidentifikasi variabel yang akan menjadi materi angket, misal persepsi peserta didik tentang pengasuhan orang tua, kebiasaan belajar, minat kegiatan ekstrakurikulerdan sebagainya, kemudian dijabarkan dalam kisi-kisi.
  3. Menyusun kalimat-kalimat pertanyaan atau pernyataan yang mewakili setiap indikator sebagaimana yang telah dijabarkan dalam kisi-kisi. Untuk menyusun pertanyaan atau pernyataan dalam angket, beberapa pedoman di bawah ini perlu diperhatikan konselor: (a) menggunakan kata-kata yang tidak mengandung makna ganda (ambigu), (b) susunan kalimat hendaknya sederhana tetapi jelas, (c) menghindari pemakaian kata yang tidak ada gunanya, (d) menghindarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu, (e) mencantumkan kemungkinan jawaban sesuai dengan kebutuhan data dan konstruk teori yang digunakan, (f) hindarkan kata-kata yang bersifat sugestif dan kata yang bersifat negatif, dan (g) pergunakan kata-kata yang netral, tidak menyinggung perasaan dan harga diri responden.
  4. Lengkapi angket dengan identitas responden jika diperlukan, dan pendahuluan yaitu berupa tujuan angket tersebut dan petunju pengisiannya.
  5. Untuk memperoleh angket dengan hasil baik, maka dapat dilakukan proses uji coba. Sampel yang diambil dalam uji coba haruslah sampel dari populasi dimana angket akan diberikn. Situasi uji coba juga harus sama, yaitu apakah angket harus diisi saat itu juga atau boleh dibawa pulang, dan dikumpulkan kembali pada waktu yang telah ditentukan.

  1. Langkah Pengadministrasian Angket
Sofyan Willis (2011: 32) memaparkan bahwa dalam upaya mengembangkan potensi siswa dan membantu pemecahan masalah yang dihadapinya, perlu adanya kegiatan layanan bimbingan dan konseling yang terorganisir, terprogram dan terarah.
Salah satu kegiatan dalam upaya pelayanan bimbingan dan konseling terhadap siswa adalah kegiatan need asessment atau analisis kebutuhan siswa yang dimaksudkan sebagai landasan pembuatan program layanan BK yang sesuai kebutuhan.
Salah satu asesmen dalam teknik non tes yang menjadi acuan penelitian di sini adalah teknik angket.
Berbicara mengenai angket, tentu ada langkah mengadministrasiannya. Pengadministrasian angket dalam pelayanan bimbingan dan konseling memiliki beberapa tahapan yaitu: (1) tahapan persiapan, yang meliputi penentuan kelompok respondenn, mempersiapkan angket sesuai tujuan dan membuat satuan layanan asesmen, (2) langkah pelaksanaan, yang meliputi memberikan verbal setting (menjelaskan akan tujuan, manfaat, dan kerahasiaan data), membagikan angket, menjelaskan kapan waktu pengisian angket, mengumulkan kembali angket setelah selesai diisi, dan (3) tahapan penglahan dan analisis hasil, yang meliputi tahap pemeriksaan kelengkapan hasil angket, dan membuat tabulasi hasil serta melakukan analisis.

  1. Langkah Pengolahan dan Analisis Hasil Angket
Pengolahan dan analisis hasil angket memerlukan kreatifitas dari konselor atau guru BK itu sendiri. Kreatifitas itu dapat berupa kecerdasan dalam pengolahan hasil angket serta bagaimana cara menganalisisnya. Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel dengan melakukan eksperimen masalah kecerdasan sosial di sekolah A khususnya di kelas XI-A (sebagai contoh) di mana terdapat 20 siswa dalam kelas tersebut. Kelas A menunjukkan adanya indikasi siswa yang kecerdasan sosialnya tinggi dengan persentase 10%, 30% dan 60% keceerdasan sosialnya.


Grafik 1.1
Profil Kecerdasan Sosial Siswa
(Berdasarkan kategori rendah, sedang dan tinggi)
Grafik di atas menunjukkan bahwa di sekolah A, kelas IX-A terdapat siswa yang memiliki masalah kecerdasan sosial dengan terdapat tiga kategori yaitu kategori (1) siswa yang memiliki kecerdasan sosial yang rendah hanya 10%, kategori (2) siswa yang memiliki kecerdasan sosial sedang dipersentasikan menjadi 30%, dan kategori (3) siswa yang memiliki kecerdasan sosial tinggi terdapat 60%. Itu artinya bahwa siswa kelas IX-A di sekolah A ternayata memiliki jumlah siswa yang dikatakan tinggi dalam kecerdasan sosialnya. Dilihat dari hasil capaian siswa pada setiap indikator pada setiap dimensi menunjukan capaian yang beragam.
Berikut ini adalah hasil penelitian ditinjau dari capaian per-Aspek dan Indikator kecerdasan sosial. Aspek pertama yaitu kesadaran empati yang terdiri dari Indikator pertama yaitu empati dasar secara keseluruhan siswa memperoleh capaian skor 90%, indikator kedua yaitu penyelarasan memperoleh capaian skor 75%, indikator ketiga yaitu ketepatan empatik memperoleh capaian skor 65 %, dan aspek kedua yaitu fasilitas sosial yang terdiri dari indikator sinkronisasi memperoleh capaian skor 55%, indikator presentasi diri mencapai skor 60%, indikator pengaruh mencapai skor 90% dan terakhir indikator kepedulian mencapai skor 70%. Secara lebih rinci capaian pada setiap aspek maupun indikator dapat dilihat dalam grafik 1.2 sebagai berikut.

Berdasarkan data tersebut menunjukan tingkat capaian yang beragam, baik dalam keseluruhan aspek maupun indikator kecerdasan sosial. Hasil ini mengindikasikan bahwa diperlukan suatu rumusan layanan yang menyeluruh untuk meningkatkan seluruh dimensi kecerdasan sosial siswa.
Berikut langkah pengolahan data siswa melalui tes angket yaitu: dengan melakukan penghitungan data dari keseluruhan jumlah point soal yang dijawab responden dalam hal ini adalah siswa, dibagi jumlah keseluruhan point soal dibagi 100 persen, itulah hasil persentase dari tiap indikator yang menjadi aspek penilaian bagi siswa.
Kecerdasan Sosial
Kesadaran Sosial
  1. Empati Dasar
  2. Penyelarasan
  3. Ketepatan Empatik
  4. Pengertian Sosial
Fasilitas Sosial
  1. Sinkronisasi
  2. Presentasi diri
  3. Pengaruh
  4. Kepedulian





Dari perhitungan dan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa teknik angket merupakan suatu sarana untuk menganalisis berbagai sejumlah informasi yang relevan dan akurat dengan keperluan bimbingan dan konseling, diantaranya adalah masalah kecerdasan sosial.
Hasil perhitungan dan penelitian menunjukan bahwa: 1) tenik angket secara umum merupakan salah satu bagian dari asesment teknik non tes, 2) rumusan prosedur pelaksanaan asesmen dalam pelayanan BK di sekolah dapat digunakan melalui teknik angket, 3) teknik angket efektif untuk pengumpulan data siswa secara akurat dan efisien.

  1. PENUTUP
Tingkat kecerdasan sosial siswa kelas sebelas Sekolah Menengah Atas A berada pada kategori kecerdasan sosial yang tingi pada setiap dimensi kecerdasan sosial.
Hasil validasi rasional pakar bimbingan dan konseling terhadap need asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling penggunaan teknik angket dalam mengumpulkan sejumlah data dan informasi peseta didik dinilai layak sebagai suatu kerangka kerja layanan untuk mengolah sejumlah data maupun informasi diantaranya masalah kecerdasan sosial.












DAFTAR PUSTAKA

Komalasari, dkk. 2011. Asesmen Teknik Non Tes Perspektif BK Komprehensif.
Jakarta: PT. Indeks

Yusuf & Nurihsan. 2010. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya

Yamin, Martinis. 2009. Profesionlisme Guru & Implementasi KTSP. Jakarta:
Gaung Persada Press

Willis, Sofyan. 2011. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta

Sutoyo, Anwar. 2008. Pemahaman Individu. Semarang: Widya Krya.


TEKNIK ANGKET SEBAGAI PROSEDUR PELAKSANAAN
ASESMEN DALAM PELAYANAN BIMBINGAN
DAN KONSELING DI SEKOLAH